Sabtu, 29 Desember 2012

sumber-sumber ajaran agama Islam



Al-Qur'an
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.

Nama-nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

    * Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
    * Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
    * Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
    * Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
    * Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
    * Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
    * Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
    * Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
    * At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
    * Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
    * Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
    * Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
    * Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
    * Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
    * An-Nur (cahaya): QS(4:174)
    * Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
    * Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
    * Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.

Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.



 Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasullulah SAW

Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

Struktur dan pembagian Al-Qur'an

Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.

Makkiyah dan Madaniyah

Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.

Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari'ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.

Juz dan manzil

Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

Hadits

Hadits adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad SAW. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

Etimologi

Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.

Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah.

Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.

Struktur hadits

Sanad

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah

    Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW

Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.

Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :

    * Keutuhan sanadnya
    * Jumlahnya
    * Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.






Matan

Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:

    "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah:

    * Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
    * Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Klasifikasi hadits

Berdasarkan ujung sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :

    * Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh: hadits sebelumnya)
    * Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
    * Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".

Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).

Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.

    Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW

    * Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
    * Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
    * Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
    * Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
    * Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).

Berdasarkan jumlah penutur

umlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.

    * Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
    * Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
          o Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
          o Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
          o Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.

Berdasarkan tingkat keaslian hadits

Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'

    * Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
         1. Sanadnya bersambung;
         2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
         3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits.
    * Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
    * Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
    * Hadits Maudu, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.

Jenis-jenis lain

Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:

    * Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
    * Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya/jujur.
    * Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat)
    * Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
    * Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
    * Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
    * Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
    * Hadits Syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang tepercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
    * Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi, hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.



A.Definisi Ar-Ra’yu
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas yakni terdiri dari tiga sumber yaituAl-Qur’an, dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.Al-Quran adalah sumber agama (juga ajaran) islam yang pertama dan utama. Secaraetimologis, Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan dan menghimpun. As-Sunnah atau Hadits adalah sumber agama(juga ajaran) islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Sunnah menurut istilah syar’i adalahsesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an yangkurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.Ar-Rayu dipakai apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di Al Quranmaupun Haditst, maka diperintahkan untuk berijtihad dengan menggunakan akal pikirandengan tetap mengacu kepada Al Quran dan HaditsMenurut bahasa Ar Ra·yu artinya, pemahaman dan akal budi. Manusia dikaruniaiAllah dengan diberikan akal budi, karena hanya satu-satunya makhluk yang mempunyaiakal. Dengan akal itulah manusia wajib berpikir tentang segala sesuatu, termasuk berpikir tentang persoalan hukum yang tidak terdapat dalam nas Al Qur·an dan As Sunnah.
Sebagai hasil ketekunan keilmuwan muslim mempelajari Al-Quran dan Al-Hadis (sebagai sumber utama agama dan ajaran Islam) dan kemampuan mereka mempergunakan akal pikiran atau rakyu melalui ijtihad, mereka telah berhasil menyusun berbagai ilmu dalam ajaran Islam seperti ilmu tauhid atau ilmu kalam yang (kini) sering disebut dengan istilah teologi, ilmu fikih, ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.
Di samping itu mereka juga telah berhasil menyusun norma-norma dan seperangkat penilaian mengenai perbuatan manusia dalam hidup dan kehidupan, baik dalam hidup pribadi maupun di dalam hidup kemasyarakatan. Sistem penilaian mengenai perbuatan manusia yang diciptakan oleh ilmuwan muslim itu, dalam kepustakaan Indonesia dikenal dengan nama al-khamsah (lima kategori penilaian, lima kaidah atau sering disebut juga lima hukum dalam Islam).
Menurut sistem al-ahkam al-khamsah ada lima kemungkinan penilaian mengenai benda dan perbuatan manusia. Penilaian itu menurut Hazairin mulai dari ja’iz atau mubah atau ibahah. Ja’iz adalah ukuran penilaian atau kaidah kesusilaan (akhlak) pribadi, sunat dan makruh adalah ukuran penilaian bagi hidup kesusilaan (akhlak) masyarakat, wajib dan haram adalah ukuran penilaian atau kaidah atau norma bagi lingkungan hukum duniawi. Kelima kaidah ini berlaku di dalam ruang lingkup keagamaan yang meliputi semua lingkungan itu. Pembagian ke alam ruang lingkup kesusilaan, baik pribadi maupun perseorangan. Ukuran penilaian tingkah laku ini dikenakan bagi perbuatan-perbutan yang sifatnya pribadi yang semata-mata diserahkan kepada pertimbangan dan kemauan orang itu sendii untuk melakukannya.

Ayat-ayat tentang Al-Qur’an
Allah Berfirman:
هَلْ يَنظُرُونَ إِلاَّ تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِن قَبْلُ قَدْ جَاءتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَاء فَيَشْفَعُواْ لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُواْ أَنفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَفْتَرُونَ

"Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Qur'an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?". Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan."
(Q.S. 7. Al-A'raf, A. 53).
مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
"Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah." (Q.S. 20. Thoha, A. 2).
إِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَن يَخْشَى
"Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)." (Q.S. 20. Thoha, A. 3).
مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْراً
"Barangsiapa berpaling dari pada Al qur'an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat." (Q.S. 20. Thoha, A. 100).
خَالِدِينَ فِيهِ وَسَاء لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلاً
"Mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat." (Q.S. 20. Thoha, A. 101).
قَدْ كَانَتْ آيَاتِي تُتْلَى عَلَيْكُمْ فَكُنتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ تَنكِصُونَ
"Sesungguhnya ayat-ayatKu (Al Qur'an) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu berpaling ke belakang." (Q.S. 23. Al-Mukminun, A. 66).
مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِراً تَهْجُرُونَ
"Dengan menyombongkan diri terhadap Al Qur'an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari." (Q.S. 23. Al-Mukminun, A. 67).
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur'an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu." (Q.S. 23. Al-Mukminun, A. 71).
بَشِيراً وَنَذِيراً فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ
"Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan." (Q.S. 41. Fushshilat, A. 4).
وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آذَانِنَا وَقْرٌ وَمِن بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ
"Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)." (Q.S. 41. Fushshilat, A. 5).
هَذَا هُدًى وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَهُمْ عَذَابٌ مَّن رِّجْزٍ أَلِيمٌ
"Ini (Al Qur'an) adalah petunjuk. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Tuhannya bagi mereka azab yaitu siksaan yang sangat pedih." (Q.S. 45. Al-Jatsiyah, A. 11).

Adapun perbedaan hadits dengan Al-Qur'an adalah:

1. Al-Qur'an merupakan mukjizat Rasulullah Muhammad saw, sedangkan hadits bukanlah merupakan mukjizat.

2. Al-Qur'an terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan-tangan jahil dan kuffar (Qs.15:9), sedangkan hadits tidaklah terpelihara sebagaimana layaknya Al-Qur'an.

3. Al-Qur'an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sehingga memakainya tidak dibutuhkan khawatir, sedangkan hadits tidak semuanya diriwayatkan secara mutawatir, sehingga ada hadits yang da'if.

4. Kebenaran ayat-ayat Al-Qur'an bersifat qath'i al-wurud (mutlak kebenarannya) dan kafir meragukannya, sedangkan hadits bersifat zhanni al-wurud (relatif kebenarannya) kecuali yang diriwayatkan secara mutawatir.

5. Al-Qur'an redaksi dan maknanya dari Allah. Hadits qudsi maknanya dari Allah dan redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedangkan hadits nabawi merupakan ijtihad Nabi sesuai dengan wahyu Allah.

6. Proses penyampaian Al-Qur'an lewat wahyu Allah dengan perantara Malaikat Jibril, yang langsung bertemu dengan Rasul, sedangkan hadits qudsi lewat ilham yang Allah sampaikan dengan bisikan, mimpi dan isyarat alam, dan hadits nabawi merupakan penjabaran Nabi terhadap wahyu yang diterimanya berdasarkan hidayah yang Allah anugerahkan.


7. Kewahyuan Al-Qur'an merupakan wahyu masluw (wahyu yang dibacakan oleh jibril kepada Muhammad saw), sedangkan hadits merupakan wahyu ghoirul masluw (wahyu yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara jelas dan haqqul yaqin, kemudian disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dengan redaksinya sendiri.

8. Membaca Al-Qur'an dinilai sebagai ibadah, setiap satu huruf pahalanya sebanding dengan 10 kebajikan, sedangkan membaca hadits tidak dinilai ibadah kecuali disertai dengan niat yang baru.

9. Diantara surat Al-Qur'an wajib dibaca dalam sholat, seperti Surat Al-Fatihah yang dibaca setiap raka'at. Sedangkan hadits tidaklah dibaca dalam sholat, namun hadits merupakan petunjuk Rasul yang mengajarkan tata cara mendirikan sholat sesuai dengan contoh yang telah Rasul kerjakan.

10. Mushab Al-Qur'an diharamkan disentuh oleh orang-orang yang sedang berhadats dan bernajis, sedangkan hadits tidaklah sedemikian.

11. Imam Ahmad berkata haram Mushab Al-Qur'an diperjual belikan dan Imam Syafi'i berkata Mushab Al-Qur'an makruh diperjual belikan, sedangkan hadits tidaklah ada ketetapan hukum dari para ulama tentang keharaman diperjual belikan.


Perbedaan Hadits Qudsi Dengan Hadits Nabawi
Jika kita mau menyimak hadits-hadits warisan Rasul saw, maka kita temukan perbedaan antara hadits qudsi dengan hadits nabawi. Adapun perbedaan antara hadits qudsi dengan hadits nabawi terletak pada sumber dan proses pemberitaannya. Hadits qudsi makna kalimatnya dari Allah yang disampaikan via wahyu, sedangkan redaksinya dari Nabi saw yang disandarkan langsung kepada Allah. Sedangkan hadits nabawi, makna pemberitaan dan redaksi hadits berdasarkan ijtihad dari Nabi saw sendiri.

Pada hadits qudsi Rasul menjelaskan isi kandungan yang tersurat atau yang tersirat pada wahyu yang diterima Nabi dari Allah, tetapi penyampaiannya disandarkan kepada Nabi sebagai pihak penyampai berita dari Allah dan hakikat penyandaran berita kepada Allah sebagai pihak sumber awal berita diterima Nabi saw, maka pemberitaan seperti ini dalam ilmu hadits di sebut dengan istilah taufiqi.

Sedangkan pada hadits nabawi, kalimat pada matan hadits merupakan hasil dari ijtihad Nabi saw yang beliau fahami dari Al-Qur'an, karena beliau bertugas sebagai pentarjim dan pentafsir Al-Qur'an sesuai dengan bahasa dan tingkat daya nalar pemikiran ummat yang sedang beliau hadapi. Penyampaian Nabi dari biasisasi pentafsiran Qur'an itu akan didiamkan wahyu, jika yang beliau sampaikan benar, tetapi selalu direnopasi oleh wahyu yang turun jika penyampaian Nabi saw terdapat kesalahan. Maka pemberitaan seperti ini dalam ilmu hadits disebut dengan istilah tauqifi.
Jenis-jenis ra’yu

1.Ijma’
Menurut bahasa, ijma’ memiliki dua pengertian. Pertama, berupaya (tekad) terhadapsesuatu. disebutkan رملا ىع نف جأ berarti berupaya di atasnya.

2.Qiyas
Menurut ulama ushul, qiyas adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnyadalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yangditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Dalam definisi lain, Qiyas adalah menyamakansesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karenaadanya persamaan illat hukum.

3. Istihsan
 Istihsan
secara bahasa adalah kata bentukan (
musytaq)
dari
al-hasan
(apapunyang baik dari sesuatu)
. Istihsan
sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (
hissiy
)ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.

4.Istishab
Istishab menurut bahasa berarti “mencari sesuatu yang ada hubungannya”.Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada darisuatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Ataudengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalilyang mengubah ketetapan hukum tersebut.

5.Mashlahat Murshalah
Mashlahat Murshalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung olehsyara’ dan tidak ada dalail-dalil yang manyuruh untuk menggerjakan ataumeninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.


6.Sududz Dzariah
Sududz Dzariah adalah tindakan memutuskan sesuatu yang mubah menjadimakruh atau haram demi kepentingan umat.


Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits
http://www.scribd.com/doc/69195964/Definisi-Ar-Ra-Yu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar