Sabtu, 29 Desember 2012

fakta keterlibatan TNI AD dalam G30SPKI



Fakta Terlibatnya TNI AD dalam G 30S PKI
       Adanya isu revolusi dewan jendral oleh TNI
      Adanya ide pembentukan angkatan kelima dari PKI
      Benedict anderson dan Ruth McVey, mengemukakan suatu hipotesa yang intinya bahwa  G30S adalah masalah internal angkatan darat
      Suatu gerakan yang dilakukan kelompok didalam TNI yang keseluruhannya diotaki PKI
      Suatu gerakan yang di intepretasikan sebagai suatu komplotan  antara perwira pembelot  dengan pemimpin-pemimpin PKI

Penjelasan Fakta
       1. Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
       2. Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono








Latar Belakang
PKI adalah parpol yang ada di indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya PKI pernah melakukan pemberontakan melawan kolonial belanda diantaranya: pemberontakan PKI di madiun  1948, serta dituduh membunuh 6 jendral TNI AD di jakarta pada tanggal 30 september  1965 (G30S PKI).
Korban Pemberontakan G 30S/PKI
1.       Ahmad Yani,
2.  Donald Ifak Panjaitan,
3. M.T. Haryono
4. Piere Tendean,
5. Siswono Parman,
6. Suprapto,
7. Sutoyo Siswomiharjo
Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono. GBU

Angkatan kelima
Pada kunjungan Menteri Luar Negeri Subandrio ke Cina, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan untuk mempersenjatai 40 batalion tentara secara lengkap, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Presiden Soekerno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada awal tahun 1965 Presiden Soekarno mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Pandangan lain mengatakan bahwa PKI-lah yang mengusulkan pembentukan Angkatan Kelima tersebut dan mempersenjatai mereka. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI. (Sundhaussen, 1986 : 316)

Sejak tahun 1963, kepemimpinan PKI semakin lama semakin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mengutamakan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka. Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis". (Nasution, 1987 : 80)
Namun pada akhir tahun 1964 dan permulaan tahun 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata. Pada permulaan tahun 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat (AS). Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Soekarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat". (Sundhaussen, 1986: 323)

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan pemerintahan militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. PKI di hadapan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul mereka akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatur militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara. (Sundhaussen, 1986 : 317)








Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober).

Presiden Soekarno yang murka dan mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk mengganyang Malaysia ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia. Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang akan marah jika mereka tidak melaksanakan perintahnya. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya. (Sundhaussen, 1986: 168-169)

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini. (Nasution, 1987: 87)

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita. (Sundhaussen, 1986: 200)

Menurut Soebandrio (2006: 40), isi dokumen itu nilai sangat gawat. Inti dari dokumen itu adalah bahwa Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kementrian Luar Negeri Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang koleganya yang berkebangsaan Amerika tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Disebutkan bahwa adanya salah satu paragraf yang berbunyi ”rencana ini cukup dilakukan bersama our local army friends.”

sumber: wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar